Putusan MK untuk UU Cipta Kerja, wajibkan lagi ke upah minimum sektoralPutusan MK untuk UU Cipta Kerja, wajibkan lagi ke upah minimum sektoral

NGENELHO, – Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan dari Partai Buruh dan beberapa pemohon lainnya terkait Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Keputusan ini di umumkan dalam sidang yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada tanggal 31 Oktober 2024.

Para pemohon yang terlibat antara lain Partai Buruh, FSPMI, KSPSI, KPBI, dan KSPI, dengan fokus pada berbagai aspek pengupahan dan ketenagakerjaan yang di atur dalam UU Cipta Kerja.

Permohonan dan Putusan MK untuk UU Cipta Kerja

Gugatan yang di ajukan oleh Partai Buruh dkk menyoroti sejumlah pasal dalam UU Cipta Kerja yang di nilai merugikan pekerja. Khususnya dalam hal upah dan hubungan kerja.

Dalam dokumen permohonan, terdapat 71 poin yang di angkat. Mencakup penghapusan ketentuan mengenai upah minimum sektoral (UMS) yang sebelumnya tercantum dalam UU Ketenagakerjaan.

MK dalam putusannya, Nomor 168/PUU-XXII/2024, menegaskan bahwa penghapusan UMS bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

“Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 … bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak di maknai ‘termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota’,” tulis MK dalam putusannya.

Kembali Diterapkannya Upah Minimum Sektoral

MK juga menekankan pentingnya penerapan UMS sebagai langkah perlindungan bagi pekerja.

Sebelumnya, penghapusan UMS di anggap dapat menurunkan standar perlindungan yang seharusnya di berikan kepada pekerja di sektor-sektor tertentu yang memiliki karakteristik berbeda.

Dengan di kembalikannya ketentuan ini, di harapkan pekerja dapat menerima imbalan yang adil sesuai dengan kebutuhan hidup layak mereka.

Perubahan Lain dalam UU Cipta Kerja

Selain mengembalikan UMS, MK juga mengubah beberapa pasal dalam kluster pengupahan dalam UU Cipta Kerja.

Pertama, MK mengembalikan komponen hidup layak sebagai bagian dari perhitungan upah.

Hal ini bertujuan agar upah yang di berikan mampu memenuhi kebutuhan dasar pekerja dan keluarganya. Mencakup makanan, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.

Kedua, MK menegaskan kembali pentingnya peran dewan pengupahan yang sebelumnya di hapus.

Dewan ini akan melibatkan unsur pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan upah yang lebih adil.

Selain itu, MK juga menambahkan klausul bahwa dewan pengupahan harus “berpartisipasi secara aktif” dalam proses penetapan upah.

Penambahan Frasa dan Klausul Baru

Mahkamah juga merasa perlu untuk menambah frasa “yang proporsional” dalam konteks struktur dan skala upah, serta menjelaskan bahwa “indeks tertentu” mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.

Hal ini di harapkan dapat meningkatkan transparansi dan keadilan dalam penetapan upah.

Lebih lanjut, MK juga mengembalikan frasa “serikat pekerja/buruh” dalam regulasi terkait upah, yang sebelumnya di batasi hanya pada kesepakatan antara perusahaan dan pekerja.

Dengan demikian, posisi serikat pekerja dalam proses penetapan upah kembali di akui.

Perlindungan Hak-hak pekerja di Indonesia

Keputusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja membawa angin segar bagi perlindungan hak-hak pekerja di Indonesia.

Dengan kembali di terapkannya upah minimum sektoral dan perubahan-perubahan lain dalam regulasi pengupahan, di harapkan perlindungan bagi pekerja akan semakin meningkat. Serta menciptakan iklim ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkeadilan.

NETWORK: Daftar Website

NetworK