Ngenelo.net, Bengkulu, – Dana kampanye ilegal Pilkada 2024 membuka tabir praktik gratifikasi dan pemerasan oleh mantan Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah.
Dalam sidang perdana yang di gelar Senin di Pengadilan Tipikor Bengkulu, jaksa menyatakan Rohidin menerima dana dari berbagai pihak senilai total Rp30,3 miliar.
Menurut jaksa KPK Ade Azhari, dana kampanye ilegal tersebut di terima melalui perantara ajudan pribadi, Evriansyah alias Anca, serta mantan Sekda Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri.
Dana itu tidak hanya berbentuk rupiah, melainkan juga mata uang asing seperti dolar AS dan dolar Singapura.
“Untuk penerimaan gratifikasi itu sebanyak Rp30,3 miliar, ada uang dolar Singapura dan Amerika. Seperti dalam surat dakwaan ada beberapa pihak yang memberikan dana kepada terdakwa Rohidin.
Semuanya untuk kepentingan pemenangan pilkada terdakwa Rohidin,” ungkap JPU KPK Ade Azhari di PN Tipikor Bengkulu, Senin.
Dana kampanye ilegal itu di pakai untuk mendanai operasional dan promosi Pilkada 2024 yang diikuti Rohidin.
Modus ini memperlihatkan betapa berbahayanya korupsi politik menjelang pemilu, terutama jika melibatkan jaringan birokrasi dan sektor swasta.
Rantai Dana Kampanye Ilegal: Dari Pengusaha hingga ASN
Menurut JPU KPK Ade Azhari, dana kampanye ilegal yang di terima Rohidin bersumber dari berbagai elemen.
Mulai dari kepala daerah yang juga ikut Pilkada, ASN dan kepala sekolah Hingga pengusaha tambang.
Setoran terbesar datang dari Haris, pengusaha batu bara, sebesar Rp19,1 miliar.
Sumber Dana Kampanye Ilegal
Berikut adalah sumber dana kampanye ilegal yang di terima Rohidin Mersyah untuk Pilkada 2024.
Pertama, berasal dari sejumlah kepala daerah di Provinsi Bengkulu yang turut serta dalam Pilkada 2024, di antaranya Bupati Kaur Gusril Fauzi, mantan Bupati Seluma Erwin Oktavian.
Selanjutnya, Bupati Bengkulu Tengah Rahmat Riyanto, Bupati Bengkulu Utara Arie Septi Dinata.
Berikutnya, Bupati Kepahiang Zurdi Nata, dengan total dana yang disumbangkan mencapai Rp2,1 miliar.
Tak hanya itu, Rohidin juga menerima sumbangan sebesar Rp3,5 miliar dari sejumlah politisi, antara lain Sumardi, Samsul Aswajar, Dodi Martian, Januardi, Ichram Nur, Hidayah, Zamhari, Ansori M, Lukman Efendi, dan Ahmad Lutfi.
Dana senilai Rp1,2 miliar juga di berikan oleh kepala sekolah tingkat SMA sederajat di Kota Bengkulu.
Selain itu, Rohidin menerima dana dari sejumlah kepala OPD di lingkungan Pemprov Bengkulu, seperti Kepala Diskominfo Oslita, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Syafriandi, Kepala Satpol PP Atisar Sulaiman, Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Tejo Suroso, dan lainnya.
Dana lainnya berasal dari sektor swasta, antara lain sebesar Rp19,1 miliar dari Haris, seorang pengusaha batu bara dan kepala sawit.
Serta Rp2,3 miliar dari keluarga Bank Bengkulu, yaitu Dede Arga Putra, Olivia Lesiana, dan Pandita Juniarti.
Rohidin juga menerima dana dalam bentuk uang asing, yaitu 30.000 dolar AS dari Tjandra Teresna Widjaja, Direktur PT Firman Ketaun (PT FK).
Serta 12.715 dolar AS dari pihak yang identitasnya tidak di ingat oleh terdakwa.
Di samping itu, Rohidin menerima bantuan berupa 14.500 kaos senilai Rp130 juta dari Asosiasi Pertambangan Batu Bara Bengkulu (APBB), yang di salurkan melalui Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Bengkulu, Doni Swabuana.
Rohidin juga mendapatkan dana sebesar Rp1,5 miliar dari Komisaris PT Cereno Energi Selaras dan PT Cakrawala Dinamika Energi.
Sementara itu, Direktur PT Slamat Jaya Pratama, Dedeng, menyumbangkan Rp500 juta.
Aliran Dana Kampanye Ilegal Dicatat Ajudan
Lebih lanjut, Ade Azhari mengungkapkan, aliran dana kampanye ilegal itu di catat secara rinci oleh ajudannya, Anca, dan di temukan dalam laptop pribadi.
“Seluruh aliran dana yang di terima tersebut tercatat secara rinci oleh Anca (ajudan Rohidin) dalam sebuah file Excel bernama ‘Catatan Keuangan Anca’ yang tersimpan di laptop miliknya,” jelasnya.
Hal ini memperlihatkan bahwa dana kampanye ilegal tersebut telah di rancang matang dan melibatkan banyak pihak. Jadi, bukan sekadar praktik korupsi biasa.
Dampak Mobilisasi ASN dan Potensi Rantai Korupsi Baru
Mobilisasi ASN dalam kontestasi politik seperti Pilkada tidak hanya melanggar etika birokrasi, tetapi juga membuka peluang terjadinya korupsi sistemik.
Dalam kasus yang melibatkan Rohidin Mersyah, ASN di duga di paksa memberikan dukungan politik dan bahkan iuran dalam bentuk dana tunai untuk memenuhi target kampanye.
Sebab, dalam pengakuannya, Rohidin mengakui melakukan mobilisasi ASN, dan bagi yang tidak sanggup atau melawan maka jabatannya akan di copot.
Dampak dari mobilisasi ASN ini sangat serius.
Pertama, netralitas ASN menjadi hilang, menciptakan budaya loyalitas terhadap individu, bukan kepada negara.
Selain itu, tekanan struktural membuat ASN cenderung membuka peluang mencari cara cepat untuk memenuhi “setoran” dengan berbagai cara, termasuk penyalahgunaan anggaran dinas, proyek fiktif, hingga pungutan liar terhadap bawahan atau pihak ketiga.
Seandainya itu tidak di lakukan ASN saat itu karena menggunakan harta pribadi, yang jadi pertanyaan apakah kedepan tidak mencari gantinya dengan posisi jabatan yang di milikinya?