NGENELO.NET, JAKARTA, – Sebanyak 11 mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) gugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Mereka menuntut agar pasal yang berisi larangan penyebaran kebencian di dunia maya itu di hapuskan atau di ubah.
Menurut informasi yang di terima dari situs resmi MK pada Rabu, 5 Maret 2025, sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 187/PUU-XXII/2024 telah berlangsung pada Selasa, 4 Maret 2025 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat.
Berikut adalah para pemohon dalam gugatan ini:
- Muhammad Zhafran Hibrizi
- Basthotan Milka Gumilang
- Adria Fathan Mahmuda
- Suci Rizka Fadhilla
- Nia Rahma Dini
- Qurratul Hilma
- Fadhilla Rahmadiani Fasya
- Adam Fadillah Al Basith
- Hafiz Haromain Simbolon
- Khoilullah MR
- Tiara
Gugat UU ITE: Pasal yang Dinilai Merugikan
Pasal 28 ayat 2 UU ITE mengatur larangan bagi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik yang sifatnya dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan.
Para pemohon merasa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan dapat merugikan mereka sebagai mahasiswa yang aktif dalam mengkaji isu-isu hukum di Indonesia.
“Kami merasa pasal ini sangat potensial merugikan kami sebagai mahasiswa hukum yang sering mengkaji isu-isu sosial dan hukum.
Pasal ini dapat di salahgunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat,” ujar Basthotan, salah satu pemohon.
Menurut para mahasiswa ini, frasa “rasa kebencian atau permusuhan” dalam pasal tersebut di anggap tidak jelas ukurannya.
Mereka juga mengkritik penggunaan istilah “masyarakat tertentu” yang di nilai membuka peluang penafsiran yang tidak konsisten.
Mereka khawatir tafsiran yang salah bisa merugikan pihak-pihak yang sekadar mengkritik suatu komunitas sosial.
Petitum Pemohon: Penghapusan Pasal
Sementara, dalam sidang yang berlangsung, para pemohon membacakan petitum atau permohonan mereka. Adapun permohonan yang diajukan antara lain:
- Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.
- Menghapuskan seluruh Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
- Menghapuskan frasa “masyarakat tertentu” dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
- Memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Bila Majelis Hakim memutuskan hal lain, para pemohon meminta putusan yang seadil-adilnya berdasarkan prinsip “ex aequo et bono” (berdasarkan keadilan yang sejati).
Nasihat dari Ketua Mahkamah Konstitusi
Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, memberikan nasihat kepada para pemohon terkait permohonan mereka.
Suhartoyo menyarankan agar pemohon menyempurnakan petitum yang mereka ajukan, terutama mengenai ketidakkonsistenan permintaan mengenai penghapusan frasa “rasa kebencian dan permusuhan” serta “masyarakat tertentu”.
Ia juga menekankan pentingnya memperkuat alasan legal standing yang mengaitkan posisi para pemohon sebagai mahasiswa dengan potensi kerugian yang bisa mereka alami.
Gugat UU ITE: Proses yang Diharapkan Membangun Dialog Hukum
Gugatan terhadap Pasal 28 ayat 2 UU ITE ini menjadi sorotan karena berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan potensi penyalahgunaan pasal tersebut untuk membungkam kritik.
Selain itu, para pemohon berharap Mahkamah Konstitusi akan memutuskan dengan adil, membuka ruang bagi perkembangan hukum yang lebih progresif. Serta memastikan bahwa pasal-pasal dalam UU ITE tidak merugikan masyarakat luas.
Dengan mengajukan gugatan ini, para mahasiswa tidak hanya berusaha mengubah satu pasal dalam UU ITE. Tetapi juga ingin mendorong diskusi lebih luas mengenai kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia dalam dunia digital di Indonesia.