MEMINJAM istilah Belajarlah sampai ke negeri China, maka untuk urusan sepakbola rasanya negeri ini layak mengubahnya menjadi ‘Belajarlah ke Negeri Jepang‘.
Kenapa harus Jepang, bukankah kiblat sepakbola dunia ada di eropa, Brazil atau Argentina?
Untuk jangka panjang seluruh rakyat Indonesia, pasti ingin punya tim nasional selevel dengan negara-negara kuat eropa, Brazil atau Argentina yang merupakan juara Piala Dunia edisi terakhir.
Namun, untuk tahap awal, sesuai dengan gembar-gembornya sepakbola tanah air dengan proses naturalisasi di dalamnya. Rasanya Jepang jadi pilihan yang tepat bagi sepakbola Indonesia untuk diserap ilmunya dan belajar.
Lihatlah sekarang, untuk kawasan asia Jepang sudah tak tertandingi. Jika pun ada, paling hanya negara sekelas Korea Selatan, Iran atau Australia yang sanggup mengimbangi.
Kedigdayaan samurai biru sangat jelas tergambar saat menghajar Timnas Indonesia, Jumat 15 November 2024 malam dengan skor 4-0.
Jepang unggul segalanya, skil, taktik, hingga kualitas masing-masing pemain. Sembilan pemain naturalisasi Timnas yang diturunkan sejak kick off, seolah di ajari bagaimana bermain sepakbola yang baik dan benar oleh para pemain Jepang.
Keunggulan Jepang yang saat ini mampu berada di rangking 15 FIFA, bukan dicapai hitungan bulan. Bukan pula dengan hanya mengandalkan proses naturalisasi, yang dilakukan secara masif oleh PSSI era pelatih Shin Tae Yong.
Jepang sudah membangun fondasi sepakbola modern sejak awal 90-an. Sebelumnya, era dekade 80-an, 70an dan seterusnya sepakbola Jepang tak ada apa-apanya.
Jangankan lolos ke Piala Dunia, untuk sekedar mengalahkan Timnas Indonesia pun masih sulit dilakukan.
Jepang Serius Bangun Liga
Jepang memodernisasi sepakbolanya dengan membuat liga profesional, J League. Format awalnya, klub yang berpartisipasi tak seberapa hanya kurang dari 10 tim.
Mengkopi manajemen liga-liga top eropa, peserta J League dikelola sangat profesional.
Di awal perkembangannya, tak langsung menghasilkan prestasi instan buat Tim nasional Jepang. Di kualifikasi Piala Dunia 1994, Jepang tersingkir.
Padahal saat itu, Jepang juga di hiasi sejumlah pemain naturalisasi mirip apa yang di lakukan Timnas Indonesia saat ini.
Ini juga menunjukkan, naturalisasi seperti yang di lakukan PSSI saat ini bukanlah sebuah hal yang haram. Sah-sah saja di lakukan.
Namun, proses naturalisasi bukan tujuan akhir, hanya sasaran antara sembari menunggu buah dari liga yang memang di kelola dengan baik dan benar pula.
Gagal lolos di Piala Dunia 1994 tak berarti kiamat bagi sepakbola Jepang. J League terus berkibar, pemain berkelas dan pelatih berkualitas mulai berdatangan.
Eks pemain terkenal dunia yang sempat berkibar di liga eropa, di kontrak secara profesional oleh klub-klub J League.
Situasi politik, krisis ekonomi atau bahkan pergantian perdana menteri tak mempengaruhi J League sebagai liga top yang di kelola sangat profesional di asia. Dari keseriusan di atas, Jepang baru memetik hasil di Piala Dunia 1998.
Saat itu, Jepang sukses lolos ke putaran final Piala Dunia untuk pertama kalinya. Namun ya, masih sebatas pelengkap dan langsung gugur di putaran grup.
Jepang Langganan Piala Dunia
Setelah itu, sepakbola Jepang dengan J League nya yang tetap profesional makin berkibar. Jepang sudah tak pernah absen ke Piala Dunia.
Bukan pula sekedar lolos, Jepang pun sudah rutin melangkah ke babak 16 besar Piala Dunia. Kemajuan sepakbola Jepang juga di tandai dengan semakin banyaknya pemain-pemain hasil didikan J League, di rekrut klub-klub top eropa.
Perekrutan secara profesional, bukan hanya untuk promosi klub eropa dengan tujuan meningkatkan followersnya di media sosial. Juga bukan lantaran klub eropa yang merekrut adalah warga negara Jepang.
Timnas, di era Erick Thohir sejatinya sudah mengarah ke sana. Keseriusan membangun sepakbola nasional, sudah di tunjukkan dengan membenahi profesionalisme liga.
Namun, publik kembali khawatir. Sebab, apa yang di lakukan Erick Thohir saat ini, sudah pernah di jalankan PSSI di era awal 90an atau sama dengan saat Jepang membangun J League nya.
Masih terngiang dalam ingatan, semangat membenahi liga kala itu dengan menggabungkan liga Galatama dan perserikatan menjadi Liga Indonesia.
Dalam perjalanannya, di tengah pergantian rezim, ketua PSSI, maka pola pengembangan sepakbola nasional pun berubah.
Manajemen Liga kacau. Format liga bergonta-ganti. Malah sampai sempat terjadi dualisme liga, di saat PSSI sedang kacau-kacaunya hingga berujung pada sanksi FIFA yang membuat Timnas di larang tampil menuju kualifikasi Piala Dunia 2018.
Siapa yang bisa menjamin jika kemudian Erick Thohir tak lagi menjadi PSSI, maka keseriusan membangun sepakbola nasional seperti yang sudah di tunjukkannya?
Harus di akui, untuk saat ini Erick adalah orang yang paling tepat untuk PSSI. Harus di pikirkan pula penggantinya kelak, harus yang memang berkomitmen membenahi sepakbola nasional dengan liga profesional di dalamnya.
Toh, Erick dalam sebuah keterangannya sudah menyinggung kata-kata mundur setelah hasil buruk melawan Jepang.