BANGSA ini patut berbangga dengan kisah kepahlawanan seorang wanita asal Aceh, Laksamana Keumalahayati.
Di bawah komandonya, Laksamana Keumalahayati memimpin pasukan perang bernama Inong Baleg yang artinya para wanita janda.
Yakni, para janda yang suaminya telah gugur lebih dulu saat mempertahankan tanah Aceh dari negara penjajah.
Kisah heroiknya masih terekam jelas, dengan sisa-sisa peninggalan di Aceh.
Dalam bukunya, Laksamana Keumalahayati, penulis Saifullah, S.Pd menggambarkan apa yang sudah dilakukan Laksamana Keulamalahayati seperti mengingatkan akan kisah perjalanan hidup Cut Nyak Dhien.
Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya.
Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya.
Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata.
Oleh karena itulah Laksamana Keumalahayati juga terkenal dengan sebutan “Srikandi dari Aceh”.
Mengenai tokoh Srikandi ini dapat kita lihat pada kitab Mahabharata. Srikandi adalah istri Harjuna, seorang ksatria pandawa yang terkenal sakti dalam Perang Baratayudha.
Srikandilah yang berhasil membunuh Maharsi Bisma, Panglima Perang Korawa. Berkat kemenangan Srikandi itulah, Pandawa berhasil menghancurkan tentara Korawa.
Kisah kepahlawanan Keumalahayati, di mulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis dengan armada Kerajaan Aceh masa Pemerintahan Sultan Alaidin Riayat A1 Mukammil.
Armada Aceh di pimpin sendiri oleh sultan dan di bantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancumya armada Portugis.
Sedangkan pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 prajuritnya gugur.
Suami Laksamana Keumalahayati Gugur di Medan Perang
Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru, suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud Dunia.
Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum dapat di ketahui dengan pasti.
Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis, disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat
Aceh Darussalam.
Begitu pula Keumalahayati, merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan perang.
Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada Portugis. Tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis.
Untuk melaksanakan niatnya, ia mengajukan permohonan kepada Sultan A1 Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru.
Mengingat Keumalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni Akademi Militer, dengan senang hati sultan mengabulkan permohonannya.
Untuk itu Keumalahayati di serahi tugas sebagai panglima armada dan di angkat menjadi Laksamana.
Armada yang baru di bentuk tersebut di beri nama Armada Inong Bale (Armada Wanita Janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya.
Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee, yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut.
Tembok yang menghadap laut lebamya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke teluk.
Benteng yang dalam istilah Aceh di sebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat di saksikan di Armada Inong Balee.
Armada tersebut, ketika di bentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru.
Jumlah pasukan tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati di perbesar lagi menjadi 2000 orang.
Wanita Aceh Pertama Berpangkat Laksamana
Tambahan personil ini bukan lagi janda-janda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan
Inong Balee yang di pimpin Laksamana Keumalahayati.
Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh.
Ia merupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah A1
Mukammil (1589-1604), yang populer di sebut dengan Sultan A1 Mukammil.
Sebelum di angkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pemah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh.
Setelah Keumalahayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia di angkat
oleh sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer.
Pada saat berkuasa, usia sultan sudah sangat tua (95 tahun).
Tidak mengherankan jika di istana sering terjadi intrik-intrik yang berhubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan sultan dari kursi kerajaan.
Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap laki-laki yang di anggapnya akan mendongkel dirinya dari singgasana.
Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang di anggapnya telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya.
Hal itu di sebabkan kecurigaannya terhadap kaum laki-laki, sultan memutuskan untuk mengangkat seorang
wanita sebagai Laksamana.
Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika sultan mengangkat Keumalahayati sebagai Laksamana.
Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai “dewan rahasia” istana yang oleh Van Zeggelen di sebut sebagai “geheimraad “.
Setelah memangku jabatan sebagai Laksamana, Keumalahayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar dan juga kapal-kapal jenis galey milik Kerajaan Aceh.
Armada Tangguh
John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumalahayati menjadi Laksamana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh
pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut.
Yang terdiri atasi 100 buah kapal (galey), di antaranya ada yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang.
Pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita yang berpangkat Laksamana. Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang tangguh.
Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang di miliki Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga memiliki pasukan gajah.
Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah taklukan, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di
pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah kekuasaan atau di bawah pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir.
Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi ukuran kapal-kapal yang di miliki bangsa Eropa.
Laksamana Keumalahayati menunjukkan perbedaan gender bukan masalah mempertahankan tanah air.
Dapatkan Artikel Lainnya di Google News