Frans Kaisiepo – Pahlawan Nasional yang Menghiasi Uang Kertas 10.000 Rupiah
Frans Kaisiepo lahir pada 10 Oktober 1921 di Pulau Biak, dari orangtua Albert Kaisiepo dan Albertina Maker. Ia menempuh pendidikan di sekolah guru agama Kristen di Manokwari dan Papua Bestuur School di kota NICA (sekarang Kampung Harapan, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura).
Frans Kaisiepo adalah seorang politikus Papua dan nasionalis Indonesia. Ia menjadi Gubernur Provinsi Papua keempat. Pada tahun 1993, setelah kematiannya, Frans di anugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia sebagai pengakuan atas perannya dalam mempersatukan Irian Barat dengan Indonesia.
Sebagai perwakilan Provinsi Papua, ia terlibat dalam Konferensi Malino yang membahas pembentukan Republik Indonesia Serikat. Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993 menetapkan Frans Kaisiepo sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Papua.
Jejak Nasionalisme Indonesia
Pada tahun 1945, Frans bertemu dengan Sugoro Atmoprasodjo di Sekolah Kursus Pegawai. Keduanya memiliki pandangan serupa tentang kemerdekaan Indonesia. Frans sering mengadakan pertemuan rahasia untuk membahas aneksasi Nugini Belanda oleh Republik Indonesia.
Pada 31 Agustus 1945, saat Papua masih di bawah pemerintahan Belanda, Frans menjadi salah satu tokoh yang mendukung eksistensi Republik Indonesia dengan mengibarkan Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya di Papua.
Pada Juli 1946, Frans menjadi utusan Nugini Belanda pada Konferensi Malino di Sulawesi Selatan. Di sana, sebagai juru bicara, ia mengusulkan nama “Irian” untuk wilayah tersebut, dengan makna “tempat yang panas” dalam bahasa asli Biak.
Dia juga mendirikan Partai Indonesia Merdeka di Biak pada bulan yang sama, dengan Lukas Rumkorem sebagai pemimpin terpilih.
Pada Agustus 1947, Silas Papare memimpin pengibaran bendera merah putih Indonesia untuk merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia, yang mengakibatkan penangkapan oleh polisi Belanda.
Frans dan Johans Ariks mengambil peran Papare selama penahanan tersebut. Johans kemudian mengetahui rencana untuk mengintegrasikan Irian Barat dengan Indonesia, bukan mengembangkan otonominya.
Frans terlibat dalam pemberontakan di Biak pada Maret 1948, menentang pemerintahan Belanda. Pada tahun 1949, ia menolak penunjukan sebagai pemimpin delegasi Nugini Belanda dalam Konferensi Meja Bundar Belanda-Indonesia, menolak campur tangan Belanda. Akibatnya, ia di penjara dari 1954 hingga 1961.
Perjalanan Karier Politik Frans Kaisiepo
Setelah dibebaskan dari penjara pada 1961, Frans mendirikan Partai Irian yang bertujuan menyatukan Nugini Belanda dengan Republik Indonesia.
Presiden Soekarno mendukung upaya dekolonisasi Nugini Belanda dengan meluncurkan Trikora pada 19 Desember 1961, yang menggarisbawahi pembatalan pembentukan negara Papua yang di inisiasi oleh Belanda, pengibaran bendera Indonesia di Irian Barat, dan persiapan mobilisasi.
Akibat tekanan dari Trikora, Belanda menandatangani Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, yang mengalihkan pemerintahan ke UNTEA pada 1 Oktober 1962. Pada 1 Mei 1963,
Irian Barat beralih ke pemerintahan Indonesia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Frans Kaisiepo terus berjuang untuk menyatukan Papua dengan Indonesia. Pada tahun 1969, melalui Penentuan Pendapat Rakyat, Irian di terima sebagai Provinsi Irian Jaya (kemudian Papua) dalam Indonesia.
Warisan dan Penghargaan
Frans Kaisiepo di anugerahi Bintang Mahaputra Adipradana Kelas Dua oleh pemerintah Indonesia atas jasanya. Ia di angkat secara anumerta sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1993, sebagai pengakuan atas usahanya mempersatukan Papua dengan Indonesia.
Namanya di abadikan dalam Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo di Kabupaten Biak Numfor dan Supiori. Ia juga dihormati dengan gambar pada uang kertas 10.000 rupiah edisi 2016.
Nama Frans Kaisiepo juga di ambil untuk salah satu KRI. Frans Kaisiepo meninggal pada 10 April 1979 karena serangan jantung. Ia di makamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih di Kampung Mokmer, Kabupaten Biak Numfor, yang sekarang menjadi Makam Pahlawan Nasional Indonesia Frans Kaisiepo.