Bengkulu, Ngenelo.net, – Kasus Keracunan MBG yang sempat membuat geger beberapa waktu lalu mendapat perhatian Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc.
Bagaimana tidak, ratusan siswa di Lebong, Bengkulu dan Sleman, DIY , menjadi korban keracunan setelah mengonsumsi makanan dari program Makan Bergizi Gratis.
Total 427 siswa di Lebong dan 127 siswa di Sleman mengalami gejala mual, muntah, dan diare. Tak hanya siswa, terdapat beberapa orang guru juga menjadi korban MBG ini.
Hasil pemeriksaan laboratorium menemukan tiga bakteri berbahaya. E. coli, Clostridium sp., dan Staphylococcus terdeteksi pada sampel makanan serta muntahan korban. Temuan ini memperkuat dugaan adanya kelalaian serius dalam penyediaan menu.
Beberapa siswa bahkan harus di rujuk ke fasilitas kesehatan. Fakta ini menambah kekhawatiran publik. Kasus Keracunan MBG pun memicu perhatian akademisi UGM.
UGM Sebut Ada Kegagalan Sistemik
Melansir laman resmi UGM, Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc., menilai Kasus Keracunan MBG menunjukkan persoalan serius.
Menurutnya, kejadian ini bukan sekadar insiden teknis, melainkan indikasi adanya masalah mendasar dalam sistem makanan sekolah.
“Saya kira kasus ini memperlihatkan adanya kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan,” ujar Sri Raharjo, Jumat (29/8) lalu.
Komentar itu menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh. Apalagi, dalam dua bulan terakhir, kasus yang sama berulang di dua lokasi berbeda.
Tantangan Besar dalam Program MBG
Kasus Keracunan MBG di sebut tidak lepas dari lemahnya pengawasan. Salah satunya terkait waktu konsumsi makanan. Menurut Sri Raharjo, makanan yang sudah di masak sebaiknya tidak di simpan lebih dari empat jam. Penyimpanan lebih lama justru memicu pertumbuhan bakteri.
Ia juga menyoroti kualitas air yang di gunakan. Air terkontaminasi dapat menjadi jalur masuk bakteri berbahaya ke tubuh siswa. Kondisi ini di perparah oleh keterbatasan tenaga kerja terlatih di dapur penyedia katering.
“Koordinasi dan evaluasi yang masih lemah, diperlukan evaluasi dan perbaikan sistem yang belum berjalan efektif,” tegasnya.
Solusi Konkret Cegah Kasus Serupa
Sebagai solusi, Sri Raharjo menekankan perlunya langkah nyata dari pemerintah daerah maupun pihak katering. Audit rutin harus dilakukan secara ketat. Pelatihan berkelanjutan bagi penjamah makanan juga mutlak diperlukan.
Pemerintah bahkan di minta tidak ragu menjatuhkan sanksi. Pencabutan izin usaha menjadi opsi terakhir bila di temukan kelalaian serius. Sementara itu, penyedia katering wajib menerapkan sistem batch cooking, menjaga kebersihan air, dan melakukan uji laboratorium mandiri secara berkala.
Langkah ini di yakini dapat memperkuat sistem keamanan pangan. Kasus Keracunan MBG bisa di cegah jika semua pihak menjalankan tanggung jawabnya secara konsisten.
Peran Masyarakat Tak Boleh Dikesampingkan
Sri Raharjo menilai peran masyarakat juga sangat penting. Siswa harus di biasakan mencuci tangan sebelum makan. Mereka juga perlu segera melapor jika merasakan gejala setelah mengonsumsi menu MBG.
Orang tua pun di ingatkan agar lebih proaktif. Pemantauan kualitas makanan dan komunikasi dengan sekolah menjadi kunci. Masyarakat umum dapat berperan sebagai pengawas tidak langsung dengan melaporkan indikasi pelanggaran keamanan pangan.
“Dengan kolaborasi yang kuat antara pemerintah, sekolah, penyedia katering, dan masyarakat, program MBG bisa berjalan aman sekaligus memberi manfaat besar bagi generasi muda,” pungkasnya.