Kamis, 4 September 2025 14:28 WIB

Sejarah Lemang Tapai, Warisan Budaya Nusantara

Bengkulu, Ngenelo.net, – Sejarah lemang tapai menyimpan jejak panjang budaya Nusantara. Hidangan ketan bambu berpadu tapai ketan hitam ini bukan sekadar makanan. Ia menjadi simbol kebersamaan dan keberkahan dalam acara adat, keagamaan, hingga perkawinan.

Sejak ribuan tahun lalu, sejarah lemang tapai sudah mengakar dalam tradisi Proto-Melayu. Tradisi ini terus bertahan, diwariskan dari generasi ke generasi di Bengkulu, Minangkabau, hingga wilayah Melayu lain. Lemang tapai pun hadir dalam kehidupan sosial, dari hajatan kecil sampai pesta adat besar.

Hidangan ini dianggap sakral oleh masyarakat. Dalam perayaan hari besar Islam, lemang tapai selalu hadir di meja. Filosofi di balik perpaduan gurih, manis, dan asam melambangkan kehidupan yang saling melengkapi.

Asal-usul Sejarah Lemang Tapai

Sejarah lemang tapai diperkirakan muncul sejak zaman Neolitikum. Proto-Melayu sudah mengenal cara memasak beras dalam bambu hijau. Dari sanalah teknik ini berkembang, menjadi bagian dari tradisi penting masyarakat Asia Tenggara.

Kata “lemang” berasal dari bahasa Proto-Melayu-Polinesia. Artinya memasak dalam tabung bambu hijau. Nama itu melekat dan bertahan hingga kini. Lemang tapai pun menjadi ciri khas identitas Melayu.

Sejarah lemang tapai tidak hanya bicara soal kuliner. Ia menegaskan bagaimana masyarakat dulu berinteraksi dengan alam, memanfaatkan bambu, daun, dan api sebagai media memasak alami.

Lemang Tapai di Bengkulu

Di Bengkulu, sejarah lemang tapai juga melekat kuat. Suku Rejang, Serawai, dan Kaur menjadikan lemang tapai sebagai bagian sakral dalam upacara perkawinan. Hidangan ini hadir sebagai simbol penghormatan kepada tamu.

Suku Besemah bahkan menjadikan lemang tapai sebagai hantaran wajib dalam adat pernikahan. Makanan ini di anggap wujud kesopanan dan penghargaan. Dengan begitu, lemang tapai memperkuat identitas adat masyarakat Bengkulu.

Di banyak perayaan Islam di Bengkulu, lemang tapai selalu hadir. Dari Maulid Nabi hingga Idul Fitri, kuliner ini menjadi pengikat silaturahmi. Aroma bambu terbakar seakan jadi tanda kebersamaan yang tak lekang waktu.

Perkembangan di Minangkabau

Di Minangkabau, lemang tapai erat dengan perayaan Islam. Setiap Idul Fitri, Idul Adha, dan upacara adat, lemang tapai wajib hadir. Dalam prosesi manjapuik marapulai atau penjemputan pengantin pria, hidangan ini selalu dibawa.

Lemang tapai juga di percaya berperan dalam dakwah Islam. Konon Syekh Burhanuddin mengenalkan cara membuat lemang saat menyebarkan ajaran agama. Dari situ, lemang tapai makin menguat sebagai simbol tradisi Minang.

Bagi orang Minang, memasak lemang bukan pekerjaan individu. Proses itu melibatkan banyak orang, dari menyiapkan bambu, mencuci beras, hingga memanggang. Gotong royong inilah yang memperkuat filosofi kebersamaan dalam sejarah lemang tapai.

Filosofi dalam Sejarah Lemang Tapai

Makna mendalam menyertai sejarah lemang tapai. Kombinasi rasa manis, asam, dan gurih melambangkan keseimbangan hidup. Filosofi ini tercermin dalam budaya Bengkulu maupun Minang.

Dalam adat Minangkabau, menantu perempuan sering menyajikan lemang tapai untuk menunjukkan keharmonisan rumah tangganya kepada mertua. Simbol komunikasi adat itu masih dijaga hingga sekarang.

Sementara di Bengkulu, lemang tapai melambangkan keberkahan. Proses memasak yang membutuhkan kerjasama mempertegas pentingnya gotong royong dalam masyarakat. Nilai itu menjadikan lemang tapai lebih dari sekadar makanan.

Warisan Kuliner yang Terus Hidup

Hingga kini, lemang tapai terus hidup. Dari perkampungan adat hingga kota modern, hidangan ini tetap di cari. Ia tak hanya mengenyangkan, tetapi juga menghubungkan manusia dengan tradisi leluhur.

Setiap gigitannya membawa cerita masa lalu. Dari Proto-Melayu, penyebaran Islam, hingga kebiasaan adat yang lestari. Lemang tapai pun akhirnya di akui sebagai warisan kuliner Nusantara.

Keistimewaan lemang tapai menjadikannya identitas budaya. Tidak hanya di Bengkulu dan Minangkabau, tetapi juga di berbagai daerah Melayu lain. Kuliner ini akan terus bertahan sebagai pengikat generasi.

Tinggalkan komentar