Jakarta, Ngenelo.net, – Isu royalti lagu di acara nikahan, ulang tahun, atau hajatan memicu perdebatan. Publik bertanya apakah memutar atau menyanyikan lagu di acara tersebut wajib bayar. Kebingungan ini muncul sejak aturan royalti lagu diterapkan di kafe, restoran, dan hotel.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Prof Ahmad M Ramli, menegaskan acara sosial non-komersial tidak masuk objek penarikan royalti lagu. Pernikahan, ulang tahun, atau hajatan murni bersifat sosial.
Dengan begitu, memutar atau menyanyikan lagu di acara tersebut tidak di kenakan royalti.
“Para user ini adalah pasar industri musik yang sesungguhnya. Tanpa pengguna, sebuah lagu dan musik, sebagus apapun, menjadi relatif tak memiliki arti karena tidak ada yang membeli dan menggunakan,” ungkap Ahmad saat jadi saksi ahli di sidang uji materiil UU Hak Cipta di Mahkamah Konstitusi, Kamis 7 Agustus 2025, yang di siarkan kanal YouTube MK.
Pengguna Musik Justru Hidupkan Industri
Ahmad menyebut pengguna punya peran vital bagi industri musik. Lagu yang di putar di ruang sosial dapat memperluas popularitas.
“Mereka menggunakan membuat musik bisa di nikmati berbagai ruang sosial, tetapi juga sekaligus menjadi agen iklan tanpa perlu di suruh,” ujarnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa royalti lagu tak berlaku untuk kegiatan yang tidak mencari keuntungan.
Industri musik bergantung pada apresiasi publik. Tanpa pendengar, karya musik kehilangan nilai ekonominya.
Pemutaran di acara sosial di anggap promosi gratis yang menguntungkan pencipta.
Batas Jelas Antara Sosial dan Komersial
Ahmad menegaskan, royalti wajib di bayar jika di gunakan untuk kepentingan komersial. Contohnya konser berbayar, acara bersponsor, atau bisnis hiburan.
Dalam kasus ini, pembayaran dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sesuai aturan. “Kata kuncinya adalah komersial,” jelasnya.
Selama kegiatan bersifat sosial tanpa embel-embel keuntungan, royalti lagu tidak di pungut. Batas ini penting agar publik paham kapan wajib bayar dan kapan tidak.