Laksamana Keumalahayati! Sepak Terjang dan Riwayat Perang Singa Betina Asal AcehLaksamana Keumalahayati! Sepak Terjang dan Riwayat Perang Singa Betina Asal Aceh

Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.

Dalam perkembangan selanjutnya. Sultan alammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya.

Ada dugaan awal sikap sultan tersebut banyak di pengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya.

Serangan tersebut di pimpin seorang Laksamana Keumalahayati. Alhasil, Comelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh.

Frederick de Houtman tertangkap dan di masukkan ke dalam penjara selama 2 tahun. Keberhasilan Laksamana Keumalahayati merupakan sebuah prestasi yang luar biasa.

Keumalahayati temyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, tetapi la juga pemah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana.

Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri.

Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris.

Belanda Bayar Ganti Rugi

Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan.

Pada 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang di pimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam.

Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka.

Setelah itu, datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang di pimpin oleh Laksamana Yacob van Neck. Mereka
mendarat di Pelabuhan Aceh pada 31 Juni 1601.

Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada.

Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka.

Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan al-Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.

Pada 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang di pimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh.

Kedatangan mereka memang telah di sengaja dan atas perintah Pangeran Maurits.

Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil.

Sebelum surat di berikan, sebenamya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda.

Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, di bebaskannya Frederick de Houtman.

Sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas di bajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhimya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 gulden).

Setelah itu, hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat di terima secara baik di istana kesultanan dan mereka di perbolehkan berdagang di Aceh.

Sebagai kelanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, di utuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda.

Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana
Keumalahayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan).

Meski sedang di landa perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut
dengan upacara kenegaraan.

Biodata:

Keumalahayati adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh.

Ayahnya bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530–1539 M.

Lahir : 1 Januari 1550
Meninggal: 1615, Krueng Raya

Dapatkan Artikel Lainnya di Google News

 

NETWORK: Daftar Website

NetworK