Bengkulu, Ngenelo.net, – Istilah kumpul kebo sudah akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kata ini sering di pakai untuk menyebut pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi. Namun, tidak banyak yang tahu bahwa Asal-usul Istilah Kumpul Kebo justru berasal dari zaman kolonial Belanda.
Asal-usul Istilah Kumpul Kebo awalnya dikenal sebagai “koempoel gebouw.” Dalam bahasa Melayu, “koempoel” berarti berkumpul. Sementara dalam bahasa Belanda, “gebouw” berarti bangunan atau rumah. Jadi, makna awalnya merujuk pada sekadar berkumpul di bawah satu atap.
Seiring waktu, kata “gebouw” mengalami pergeseran fonetis. Dalam lidah masyarakat lokal, kata itu berubah menjadi “kebo.” Akhirnya, istilah “kumpul gebouw” berubah menjadi kumpul kebo, yang dipakai sebagai sindiran terhadap pasangan yang hidup serumah tanpa menikah.
Praktik Kumpul Kebo di Zaman Kolonial
Praktik kumpul kebo pertama kali marak di kalangan pejabat Belanda di Hindia Belanda. Saat itu, biaya membawa istri dari Eropa ke Nusantara sangat mahal dan berisiko tinggi. Sebagai gantinya, banyak pejabat memilih hidup bersama perempuan lokal tanpa menikah.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kalangan pegawai biasa, tetapi juga pejabat tinggi. Salah satu contohnya adalah Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff (1743–1750). Ia pernah menerima budak cantik dari Ratu Bone sebagai hadiah. Budak itu kemudian di baptis dengan nama Helena Pieters dan tinggal bersama van Imhoff sebagai “teman hidup.” Dari hubungan itu, lahir anak-anak yang di akui.
Gubernur Jenderal VOC Reinier de Klerk (1777–1780) juga tercatat melakukan hal serupa. Saat tinggal di Jawa, ia hidup bersama seorang budak perempuan dan memiliki banyak anak. Anak-anak itu kemudian di kirim ke Belanda.
Elit Hingga Bawahan Lakukan Kumpul Kebo
Praktik kumpul kebo bukan hanya di lakukan gubernur jenderal. Tokoh lain, seperti penasihat Raffles, Herman Warner Muntinghe, bahkan tinggal bersama tiga budak perempuan meski sudah beristri.
Raffles sendiri, yang menjabat Gubernur Jenderal Inggris di Jawa (1811–1816), di kenal tidak mempermasalahkan hubungan bawahannya dengan budak lokal. Pada masa kepemimpinannya, praktik kumpul kebo justru semakin lazim.
Contoh lain datang dari Alexander Hare, sahabat Raffles. Dalam buku Raffles and the British Invasion of Java (2012), Tim Hannigan menulis bahwa Hare memiliki “teman hidup” perempuan dari berbagai daerah. Ia menggunakan kekuasaan untuk mengeksploitasi perempuan lokal.
Namun, fenomena ini tidak berhenti di kalangan elit. Pegawai, prajurit, hingga pedagang Eropa juga menjalani praktik serupa. Mereka tinggal bersama perempuan lokal tanpa ikatan pernikahan resmi. Masyarakat kemudian menyebut fenomena ini sebagai “kumpul gebouw,” sindiran terhadap mereka yang berbagi atap rumah tanpa menikah.
Pergeseran Makna Kumpul Kebo
Dari sekadar istilah kolonial, kumpul kebo kemudian berubah menjadi simbol sindiran sosial. Kata “kebo” yang berarti kerbau di pakai untuk merendahkan perilaku hidup bersama tanpa nikah. Hewan kerbau di anggap tidak memiliki aturan moral, sehingga kata itu di pakai sebagai ejekan.
Seiring waktu, stigma negatif melekat. Praktik kumpul kebo di pandang bertentangan dengan nilai adat, budaya timur, dan ajaran agama di Indonesia. Istilah ini lalu menjadi bahasa sehari-hari yang menandai perilaku menyimpang.
Kumpul Kebo di Era Modern
Hingga kini, istilah kumpul kebo masih dipakai di masyarakat. Biasanya, kata ini diarahkan pada pasangan yang memilih hidup bersama tanpa menikah. Meski ada yang menganggapnya sebagai pilihan hidup, sebagian besar masyarakat tetap mengaitkannya dengan tindakan tidak bermoral.
Di era modern, perdebatan tentang kumpul kebo semakin kompleks. Sebagian menilai praktik ini sebagai kebebasan individu, tetapi mayoritas tetap menolaknya. Norma agama dan sosial di Indonesia masih menempatkan pernikahan sebagai syarat sah bagi pasangan yang tinggal bersama.
Asal-usul istilah ini menunjukkan bahwa bahasa bisa merekam sejarah sosial suatu bangsa. Dari kolonial Belanda hingga zaman modern, kumpul kebo tetap menjadi cermin pergulatan antara budaya, moral, dan realitas hidup masyarakat.