Hajad Kawula Dalem Keraton Yogyakarta: Mubeng Beteng 2025
Bengkulu, Ngenelo.net, – Keraton Yogyakarta kembali menggelar tradisi sakral Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 2025 dalam rangka menyambut Tahun Baru Jawa Dal 1959.
Prosesi ini akan berlangsung pada malam 1 Suro, tepatnya Kamis 26 Juni 2025 malam Jumat pukul 23.00 WIB, di mulai dari Bangsal Ponconiti, Kompleks Kamandungan Lor atau Keben, Keraton Yogyakarta.
Sebagai bagian dari ritual malam tahun baru Jawa, kegiatan ini di maknai sebagai perjalanan spiritual yang penuh makna dan simbolisasi religius.
Suasana syahdu akan menyelimuti kompleks keraton, di awali dengan pembacaan tembang Macapat selepas salat Isya di lokasi yang sama.
Ini menjadi pembuka dari serangkaian prosesi yang sarat nilai-nilai spiritual dan budaya.
Makna Filosofis di Balik Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 2025
Prosesi Mubeng Beteng 2025 tidak hanya sebatas tradisi berjalan kaki mengelilingi benteng keraton, tetapi merupakan bentuk tirakat lampah ratri atau perjalanan malam.
Dalam budaya Jawa, ini merupakan bentuk munajat kepada Tuhan, perjalanan batin menuju pencerahan, serta refleksi terhadap kehidupan yang telah dan akan di jalani.
Mengutip dari laman kebudayaan.jogjakota.go.id, Mubeng Beteng terinspirasi dari hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah.
Perjalanan penuh keprihatinan tanpa alas kaki di atas pasir panas menjadi simbol keteguhan hati, kesabaran, dan pengorbanan dalam menempuh jalan yang lurus.
Oleh karena itu, keheningan dan kekhusyukan menjadi ruh utama dalam prosesi ini.
Awalnya, tradisi ini adalah upacara kenegaraan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, di laksanakan atas perintah Sri Sultan Hamengkubuwono.
Prosesi di laksanakan para abdi dalem sebagai bentuk loyalitas dan pengabdian, sekaligus sebagai pengingat kepada masyarakat untuk menjaga hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.
Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 2025 Diharapkan Menjaga Kesakralan
Dalam pelaksanaan Hajad Kawula Dalem Mubeng Beteng 2025, pihak Keraton Yogyakarta telah memberikan sejumlah imbauan penting.
Masyarakat atau peserta yang hendak mengikuti prosesi ini di minta untuk menjaga suasana agar tetap hening dan khidmat.
Selain itu, peserta wajib mengenakan pakaian sopan dan rapi. Serta tidak di perkenankan memakai celana pendek sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya Jawa.
Keraton juga berharap masyarakat tidak menjadikan acara ini sebagai tontonan belaka, melainkan ikut meresapi makna di balik setiap langkah perjalanan.
Lampah ratri bukan sekadar tradisi, melainkan ruang kontemplasi diri yang menciptakan keharmonisan antara manusia dan semesta.
Momentum Kebangkitan Budaya
Sementara, penyelenggaraan tradisi ini menjadi simbol kebangkitan budaya lokal di tengah derasnya arus globalisasi.
Tradisi ini merupakan pengingat bahwa kearifan lokal tetap relevan untuk memberikan arah dan nilai dalam kehidupan masyarakat modern.
Bagi masyarakat Yogyakarta maupun wisatawan yang ingin menyaksikan atau mengikuti, prosesi ini adalah pengalaman spiritual dan budaya yang langka.
Di tengah geliat pariwisata dan perubahan zaman, tradisi seperti ini tetap menjadi akar yang menguatkan identitas dan warisan leluhur.
Mubeng Beteng 2025 menunjukkan bahwa budaya bukan hanya warisan, tetapi juga cara hidup yang terus terjaga relevansinya.
Prosesi ini bukan hanya agenda rutin tahunan, melainkan simbol peradaban, spiritualitas, dan kebijaksanaan masyarakat Jawa yang tak lekang oleh waktu.